5/28/07

BAYI TABUNG

Aspek Etik dan Hukum Bayi Tabung
Oleh ACHMAD BIBEN
KELAHIRAN bayi tabung pertama di Jawa Barat meskipun bukan yang pertama di Indonesia, sebagai hasil ketekunan, profesionalisme, dan kesabaran dari tim pengelola klinik Aster RSHS/Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran patut kita hargai, mengingat proses pelaksanaan teknik bayi tabung sangat kompleks dan bervariasi. Yang dimaksud dengan teknik reproduksi berbantu (TRB) atau nama awam bayi tabung, adalah suatu tindakan manipulasi terhadap oosit, sperma, keduanya ataupun fertilisasinya, dengan tujuan untuk meningkatkan keberhasilan konsepsi dan angka kehamilan.


PROSES pengambilan sel telur ”ovum pick-up” oleh tim dokter di Klinik Aster RSHS, sebagai salah satu proses awal pembuatan bayi tabung.*DUDI SUGANDI/”PR”
Banyak tindakan yang masuk pada TRB ini, tetapi yang lazim dilakukan saat ini adalah inseminasi intra uteri (IIU), fertilisasi in vitro-embrio trans¬fer (FIV-ET) termasuk di¬dalamnya intra cytoplasmic sperm injection (ICSI), dan percutaneous epididymal sperm aspiration (PESA) ataupun testicular sperm extraction (TESE) bila ada azoospermia.
IIU merupakan TRB yang relatif sederhana, dan tidak terlalu mahal. Indikasi IIU terutama adalah unexplained infertility, ditambah dengan oligozoospermia, endometriosis ringan, ataupun gangguan ovulasi.
Keputusan untuk melakukan TRB bergantung pada umur terutama umur istri dan lama kawin, faktor penyebab infertilitas yang ada (indikasi, syarat dan kontra indikasi), kemampuan pusat pelayanan di mana pasangan datang, dan keadaan pasangan sendiri.
TRB merupakan salah satu penatalaksanaan pasangan suami istri (pasutri) infertil yang relatif mahal, meskipun akhir-akhir ini sudah lebih banyak memberikan harapan. Pada sisi lain infertilitas merupakan masalah yang sangat relatif rumit, merupakan interaksi dari beberapa masalah yang melibatkan banyak disiplin ilmu. Faktor sosial-ekonomi, kul¬tur-budaya, agama, dan pendidikan, merupakan faktor yang ikut berperan dalam menentukan arah langkah dan keberhasilan penatalaksanaan. Sedangkan faktor medis sendiri juga tidak kalah kompleksnya, mulai dari umur terutama umur istri, lama kawin, emosi, frekwensi koitus, obat yang dipakai, disamping kelainan organ reproduksi. Penatalaksanaan yang terarah, sistematis, efektif, efisien, aman, rasional, dan kalau mungkin dipilih yang murah, akan sangat membantu tercapainya angka kehamilan yang lebih baik.
Infertilitas mempunyai angka kejadian berkisar 12% dari pasutri usia subur, dengan penyebab yang kompleks dan luas, memerlukan sarana, prasarana, serta tenaga terampil yang khusus dan kompleks serta mahal. Pusat pelayanan kesehatan tidak semuanya memiliki persyaratan tersebut, diperlukan jejaring penatalaksanaan infertilitas, dengan komunikasi yang baik, menggunakan satu bahasa dan prosedur penatalaksanaan dasar yang sama. Prosedur tetap yang telah distandarisasi, baku, disetujui bersama, disosialisasikan, dan ditaati bersama sangat diperlukan.
Wadah untuk komunikasi, informasi, serta edukasi juga sangat diperlukan, agar terbina jejaring rujukan nasional yang kuat untuk menghadapi era globalisasi. Kolaborasi nasional akan lebih sangat menguntungkan, agar tidak tergilas globalisasi.
Perkembangan pesat TRB dalam 2 dekade ini telah menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat, seolah-olah ilmu kedokteran telah melangkah jauh, melampaui kesiapan masyarakat itu sendiri dalam menerima kemajuan teknologi. Mengingat hal tersebut, dokter dan ilmuwan yang terlibat dalam penerapan TRB, harus bekerja dalam suatu rambu-rambu moral/etik dan hukum yang diatur oleh suatu badan/komite etik. Hal ini bukanlah berarti membatasi kemerdekaan dokter dan ilmuwan dalam menyerap kemajuan teknologi, tetapi harus memerhatikan dan mengikut sertakan kebijakan moral yang berlaku dan terdapat dalam masyarakat.
Pengakuan hak akan kehidupan, dalam segala tindakan yang mungkin harus dilaksanakan untuk mengatasi persoalan fertilitas, dengan memerhatikan tindakan pencegahan untuk mengatasi timbulnya permasalahan dalam masyarakat.
Penerapan TRB secara etik dapat dipertanggungjawabkan jika tujuannya adalah meningkatkan mutu ilmiah dan mutu pelayanan kedokteran serta diselenggarakan dengan mengikutsertakan kebijakan umum yang terdapat dalam masyarakat.
Membahas Bioetika dalam TRB, lebih banyak membicarakan kontroversi dari pelaksanaan TRB itu sendiri.
Banyak pertanyaan yang menyinggung masalah etik TRB, umumnya menjadi bahan debat, yang kadang-kadang tidak berkeputusan. Setiap kemajuan teknologi TRB akan menambah topik debat baru dan seterusnya yang belum ada kesesuaian. Pertanyaan tersebut khususnya mengenai perkembangan yang lahir bayi tabung dan alami. Meskipun telah kurang lebih 25 tahun TRB ini, penelitian yang betul-betul memenuhi persyaratan dalam meninjau perkembangan bayi tersebut belum ada. Hal ini disebabkan sulitnya penilaian sehubungan dengan tumbuh kembangnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, selain dari pada itu bayi hasil TRB sering kali diberikan perlakuan khusus oleh orang tuanya mengingat kelahirannya sangat didambakan dan melalui proses yang cukup rumit. Namun pada penelitian yang dalam waktu singkat tidak ada perbedaan dari tumbuh kembang bayi hasil TRB dan bukan TRB, meski perlu penelitian lebih lanjut.
Pada dasarnya masih terdapat silang pendapat pada konsep dasar status embrio. Ada pendapat embrio harus dihargai namun penghargaan tersebut tidak sama dengan terhadap manusia yang telah lahir. Pendapat lain embrio harus dihargai sebagai makhluk sejak saat konsepsi. Perbedaan sisi pendapat ini dipengaruhi antara lain oleh faktor agama/ kepercayaan, budaya, dan hukum.
Peneliti yang mengakui bahwa embrio adalah makhluk hidup, maka TRB harus memenuhi persyaratan etik serta kesempatan untuk hidup dan sejahtera. Embrio sebagai makhluk berlaku hak makhluk/ manusia sepenuhnya termasuk hak untuk tidak dipakai percobaan/ penelitian tanpa persetujuan. Bilamana embrio hanya merupakan suatu potensi dari makhluk, maka hanya dibutuhkan sedikit saja kaidah etik.
Pada saat ini mulai bergeser dari suatu riset TRB menjadi bagian dari pelayan infertilitas sehingga pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan. Dalam status pelayanan ini terkait masalah informed consent yang pada TRB harus diatur kembali mengenai otonomi, kewenangan dan pemahamannya. Komite etika kedokteran berbagai negara memberikan pandangan terhadap teknologi reproduksi buatan saat ini pada umumnya berdasarkan 4 asas yaitu berniat berbuat baik, tidak bertujuan kejahatan, menghargai kebebasan individu, menurut kaidah hukum yang berlaku.
**
KEBERHASILAN kelahiran bayi tabung yang pertama ini di Jawa Barat akan sangat memicu semangat dari sejumlah pasangan pernikahan infertil untuk mengupayakan memiliki bayi hasil rekayasa teknologi bayi tabung. Namun demikian keberhasilan take home baby yang sampai saat ini walaupun program teknik reproduksi berbantu atau bayi tabung ini sudah berlangsung sekira 25 tahun namun angka keberhasilan berkisar 30-40% relatif tetap, yang berarti take home baby hanya 3-4 bayi dari 10 wanita yang mengikuti program tersebut di atas.
Meskipun teknologi semakin meningkat demikian pula pengalaman yang semakin banyak namun kendala-kendala keberhasilan belum teratasi semua, padahal kurang lebih 18 juta pasangan infertil di negara berkembang mendambakan bayi melalui bayi tabung sebagai upaya maksimal. Adapun faktor-faktor yang mungkin menyebabkan ketidak berhasilan dalam memperoleh take home baby yaitu faktor usia yang lebih ditekankan pada usia perempuan mana angka infertil pada usia 30-34 tahun sekira 15 %, meningkat 30 % pada usia 35-39 tahun dan 64 % pada usia 40-44 tahun. Faktor suami walaupun ada perannya namun tidak begitu bermakna dibandingkan perempuan misalnya, hanya 23% keberhasilan bayi pasangan dengan usia suami di atas 50 tahun.
Selanjutnya angka kelahiran hasil dari rekayasa bayi tabung pada wanita usia 40 sampai 43 tahun hanya 2-5% dan lebih dari 44 tahun belum dilaporkan adanya keberhasilan, dikatakan bahwa penurunan keberhasilan terjadi setelah berumur 35 tahun.
Menipisnya cadangan sel telur yang ada pada wanita tersebut. Kelainan dari sperma pria yang sukar dikoreksi. Adanya kelainan infertilitas berat/kelainan ganda pada sistem reproduksi wanita. Dikenal adanya unexplained infertility, pada mana semua hasil pemeriksaan normal namun infertil angkanya sekira 10-30%.
Keberhasilan tiap senter pengelola bayi tabung: menunjukan perberbedaan satu sama lain namun tetap berkisar antar 30-40% take home baby, adapun masalahnya yaitu:
Belum semua unsur-unsur kesehatan reproduksi wanita khususnya, terungkap dalam ilmu pengetahuan masih banyak yang harus digali, dan yang belum diketahui menyebabkan sulitnya mendapatkan suatu keberhasilan yang tinggi dari program bayi tabung. Di samping hal tersebut di atas ternyata pola hormon reproduksi yang penting sekali dalam proses bayi tabung terdapat perbedaan perempuan antarbangsa, suku bangsa, antarperempuan dengan perempuan dan pada perempuan itu sendiri dari waktu ke waktu khususnya pada daur haid. Meskipun ilmu dasar reproduksi sudah diketahui namun kenyataan pada aplikasi bayi tabung dengan berbagai hormon sering menimbulkan perbedaan respons.
Tidak mengherankan kalau tiap-tiap senter memiliki protokol pengelolan bayi tabung sendiri-sendiri yang didasari oleh pengalaman dan bacaan ilmu kepustakaan. Hormon-hormon yang digunakan dalam program bayi tabung meskipun secara farmakokinetis telah diketahui namun sangat jarang atau dapat dikatakan tidak ada yang melakukan suatu riset klinik dengan jumlah sampel yang besar dan pemantauan yang lama.
Sebagai penutup, kompleksitas TRB disebabkan semakin dinamisnya pengertian dan makna dari pergeseran nilai, norma, dan keyakinan, yang tumbuh terus di masyarakat, masyarakat ilmiah, dan masyarakat awam. Semakin majemuknya konsep berpikir dan cara pandang dari masing-masing tingkat masyarakat tersebut. Di satu pihak ilmu dan penelitian teknologinya sulit dibendung, di pihak lain perangkat norma, nilai, dan keyakinan dibuat atas keputusan masyarakat sebagai the user, sebagai pengguna dari kemajuan ilmu dan teknologi itu sendiri.
Gap atau kesenjangan inilah yang saya kira perlu mendapat perhatian, sehingga diperlukan kajian dan pendekatan yang terus menerus diantara para pakar dalam bentuk dan sifatnya yang multi, inter, lintas, dan cross disiplin ilmu. Ilmu Kedokteran, ilmu Kesehatan Reproduksi, Ilmu Reproduksi Manusia, tidak mungkin dapat berdiri sendiri saat ini, di dalam menghadapi kompleksitas masalah yang dihadapinya. Sepertinya masalah etika dan hukum bayi tabung yang terus dikembangkan namun dalam beberapa sisi tertinggal oleh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi program bayi tabung itu sendiri. Semoga dalam dekade kedepan masalah etik dan hukum bayi tabung ini dapat dituntaskan sebagai rambu-rambu pengaman pelaksanaan bayi tabung.***
Penulis, Guru Besar Ob-Gin Unpad, Ketua Majelis Etik Kedokteran IDI Jabar.

No comments: